Bingar.id – Mengungkapkan perasaan dalam hati, melalui kata-kata bersulam tembang, yang dilantunkan sendiri, serta diiringi weditra terbuat dari ruas-ruas bambu, sejenis gambang, yang juga dimainkan sendiri. Kesenian tersebut namanya “Calung Renteng”, yang masih merupakan rangkaian perjalanan Dewi Sri, untuk selalu dijaga dan dilindungi sampai kesinggasana terakhir.
Ketika untaian padi di perladangan mulai menguning, terasa aroma semerbak mengundang banyak minat hama memikat padi, dari burung Piit, Tikus, sampai Babi Hutan. Dari sinilah petani ladang membangun saung Huma, untuk menjaga padi dari gangguan serangan hama, sampai terakhir musim panen, yang menurut kebiasaan selama 40 hari selalu singgah siang dan malam.
Untuk menghindari keisengan dan kesepian, terlahirlah keasrian yang diilhami suasana kesendirian, agar tidak ngantuk mencoba melantunkan tembang, sambil memainkan Calung Renteng sebagai pengiringnya. Sekali-sekali terhentak suara kera menghalau binatang pengganggu padinya, sambil menarik-narik tali berulang kali, kemudian bernyanyi lagi, demikian kesibukan hari penunggu padi.
Dari ladang ke ladang irama tembang saling bersahut-sahutan, membelah kesunyian membelah keheningan, bersama iringan kesenian Calung Renteng, yang menjadi sahabat kesenangan siang dan malam. Sebuah senandung yang lebih mencerminkan perasaan dan angan-angan secara jjujur, untuk mengembangkan keheningan dengan leluasa sebagai curahan hati.
Calung Renteng dasar dari ruas-ruas bambu jenis Tamiang, ukurannya disesuaikan irama yang dibutuhkan, melalui besar dan kecilnya, serta panjang dan pendeknya setiap ruas. Jumlah ada yang 30 ruas, ada yang 25 ruas, disusun dengan tali berjejer di kedua ujungnya secara bergantung. Setiap ruas memiliki nada berbeda-beda, namun serasi dan harmoni.
Ada yang alunan nadanya Pelog, ini sebagai penggambaran kehidupan manusia yang selalu dihadapkan dengan kesusahan, keagalan, kekecewaan, kemudian merenungi, biasanya alunan iramanya sentimentil. Sedang Selendro penggambaranya manusia dalam keadaan gembira, tembang dan irama pengiringnya menjadi kepanjangan makud, misalnya sedang jatuh cinta, atau terkabul perniatannya.
Kesenian Calung Renteng gaungnya kian hilang, bersama lenyapnya Saung Huma, Leusung dan Lumbung (leuit-red), yang pernah menjadi lambang kesejahteraan kaum petani ketika tradisi masih kokoh menjadi titian. Kata pribahasa “Rukun Berbingkai adat, tidak menjadi retak karena kaidah-kaidah berkiblat amanat”. (Aditya)