LEBAK, BINGAR.ID – Sekilas kita tak akan menyangka gundukan bangunan dari semen kasar di belakang SDN 2 Rangkasbitung Barat adalah sebuah monumen perang. Apalagi, saat Bingar berkunjung ke sana dua bulan lalu, sekolah ini sedang direnovasi sehingga bangunan itu dipakai sebagai tempat menaruh barang sementara sehingga terkesan bukan bangunan bersejarah.
Padahal, bila ditelisik bangunan tersebut adalah monumen perang penting yang masih tersisa secara utuh di Banten, khususnya di Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.
Ketika didekati, bentuk bangunan bunker itu pada dasarnya adalah persegi. Namun sebagian atapnya miring mirip dengan limas. Pada bagian atap bunkernya ada dua lubang, Belum diketahui fungsinya namun diduga sebagai jalan keluar masuk udara.
Baca juga: Masjid Pacinan Tinggi, Bukti Toleransi di Tanah Jawara
Dinding bangunan ini tampaknya dibuat dari semen yang dicampur oleh batu kerikil kasar. Ukurannya sangat tebal dan warnanya dibiarkan alami tanpa ada cat. Ini masuk logika karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunker adalah bangunan yang difungsikan sebagai tempat perlindungan.
Oleh karena itu, wajar bila dindingnya dibangun sangat kokoh agar bisa melindungi orang yang masuk ke bagian dalamnya. Warnanya juga dibiarkan alami agar tersamar terutama saat dilihat dari udara karena biasanya bunker perang dibangun untuk berlindung dari serangan udara.
Sayang, kini kondisi bunker tersebut memprihatinkan karena terkesan terbengkalai. Bahkan, sebagian besar bangunan sudah tertimbun tanah sehingga kita kurang bisa melihat lagi pintu bunker serta bagian bagiannya. Satu-satunya bukti bila bunker itu adalah bangunan bersejarah hanyalah selembar papan peringatan yang dibuat Pemda Lebak dari seng bertuliskan “Bunker Pasir Tariti Rangkasbitung” beserta aturan perundangan tentang cagar budaya.
Tak ada keterangan mengenai sejarah bangunan maupun fungsinya. Maka, orang yang tak faham bila berkunjung ke sana tentu tak akan mendapatkan keterangan apapun terkait sejarah bangunan tersebut. Malah beberapa masyarakat yang berpapasan dengan saya mewanti wanti agar segera meninggalkan bunker kala senja mulai menyapa, soalnya bangunan itu mereka percaya herit alias angker katanya.
Baca juga: Menelusuri Jejak Tangan Kanan Soeharto Di Cigeulis
Sebagai gambaran, kampung tempat bunker ini berdiri adalah sebuah bukit yang menjulang di area perkotaan Rangkasbitung. Oleh karena itu dinamai sebagai Pasir atau bukit dalam Bahasa Sunda. Sedangkan Tariti saya menduga berasal dari nama sebuah pohon berkayu keras yang kini sudah langka yaitu Pohon Taritih (Drypetes Sumatrana).
Selain itu, asal nama Tariti juga bisa berasal dari kata Tarapti atau tertata, rapi, teliti. Selain bunker, di kampung tersebut juga ada peninggalan bersejarah lainnya yaitu Menara Penampung Air (Water Toren) yang berdiri di area Taman Makam Pahlawan Sirnarana.
Andi, pegawai SDN 2 Rangkasbitung Barat yang tinggal di lingkungan sekolah menunjukkan sisa lubang di tanah yang semula ia duga sebagai pintu masuk. Kata dia dulu masih ada engselnya namun kini raib tertimbun tanah. Selain pintu, kata Andi ada semacam cerukan di dinding bunker yang entah apa fungsinya. Namun sepertinya mirip dengan jendela berukuran sangat kecil.
“Gedung sekolah ini dibangun tahun 1976, nah bangunan ini (bunker-red) sudah ada tuh,” kata lelaki yang mengaku tak tahu siapa yang membangun bunker ini. Apakah Belanda atau Jepang.
Baca juga: Pabrik Es Labuan, Saksi Bisu Kejayaan Perikanan Pandeglang Era 90-an
Sama dengan Andi, para arkeolog pada laman website Direktorat Jenderal Kebudayaan juga belum bisa memastikan siapa yang membangun bunker tersebut. Karena selain Belanda, Banten juga pernah diduduki Jepang yang selama perang Dunia ke-2. Selama periode ini, Jepang kerap membangun bunker bunker untuk menaruh harta rampasan perang maupun perlindungan dari serangan udara di seantero Banten.
Selain di Rangkasbitung ini, terdapat sejumlah bunker lainnya yang ditemukan di sejumlah tempat Banten diantaranya di Labuan Kabupaten Pandeglang, (bunker Teluk), di Kota Serang (Calung), serta di Cilangkahan Kecamatan Malimping Kabupaten Lebak. (Chandra Dewi/Red)