PANDEGLANG, BINGAR.ID – Lembaga Kebudayaan Ekosistem Boeatan Tjibalioeng, akhirnya melangsungkan pertunjukan Jaga Jagat: Kembali pada Bambu pada 19 Oktober 2024 di Kampung Namprak, Desa Mendung, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang. Pertunjukan ini menjadi puncak dari serangkaian kegiatan yang sudah dilakukan Ekosistem Boeatan Tjibalioeng sejak Mei 2024.
Sebelumnya, komunitas yang digagas generasi muda untuk terus merawat ekosistem dan budaya ini telah menyelenggarakan lokakarya musik bambu, inovasi kuliner dari bahan bambu, sampai menghasilkan karya inovatif dari alat musik bambu.
Baca Juga : Lokakarya Bambu Boeatan Tjibalioeng Masuki Ranah Konservasi
Jaga Jagat menjadi program besar Ekosistem Boeatan Tjibalioeng dalam menyuarakan pentingnya menjaga alam yang selama ini menjadi denyut kehidupan dan budaya masyarakat.
“Sebagai bagian dari acara ini, pameran alat musik bambu digelar untuk membuka kesadaran masyarakat akan manfaat bambu di luar perannya sebagai penopang ekosistem,” ujar Ketua Ekosistem Boeatan Tjibalioeng, Rizal Mahfud, Senin (28/10/2024).
Baca Juga : Boeatan Tjibalioeng Kembali Ciptakan Kreasi dari Bambu, Kali Ini Masakan
Pergelaran yang berlangsung selama tiga hari itu (17-19 Oktober 2024), diisi dengan pancaragam kegiatan, seperti pameran 12 alat musik bambu khas Banten, pertunjukan 15 seniman Cibaliung dan 5 seniman residensi dari Papua, Kalimantan, Lampung, Padang, dan Sumatra Utara.
“Pameran ini memperlihatkan berbagai instrumen musik dari bambu, mulai dari calung renteng, angklung, karinding, hingga alat musik bambu berdawai hasil inovasi tim riset bersama para pakar organologi,” ucapnya.
Salah satu aksi yang paling ditunggu dari petunjukan ini ketika teman-teman dari Ekosistem Boeatan Tjibalioeng memamerkan 5 karya inovatif yang gagas. Dimulai dari lagu Liliuran, disusul Huma(nis), Sada Titilaring Bumi, Lumbung Cibaliung, dan ditutup dengan Jaga Jagat.
Baca Juga : Boeatan Tjibalioeng Inisiasi Lokakarya Instrumen Musik Bambu
“Pameran alat musik bambu, penanaman bibit, dan kolaborasi lintas budaya menjadi bukti bahwa pelestarian lingkungan adalah upaya kolektif. Di tengah perkembangan industri, masyarakat perlu menjaga hubungan antarbudaya dan alam, demi keberlanjutan yang bermanfaat bagi generasi mendatang,” ujar dia.
Ketua Tim Pemajuan Kebudayaan Desa Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kemendikbudristek, Syukur Asih Suprojo menekankan, pentingnya mengenali dan mengembangkan potensi kebudayaan lokal.
“Dalam hal ini, bambu yang dipilih oleh Ekosistem Boeatan Tjibalioeng dikembangkan dengan optimal dari proses konservasinya sampai pemanfaatannya,” ucapnya.
Kegiatan yang didukung oleh platform Dana Indonesiana, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ini mendapat respons positif dari 500an penonton yang hadir. Salah satunya Jeni Abdulrokhim. Bahkan ia rela menempuh lebih dari 100 kilometer dengan bersepeda dari Rangkasbitung ke Cibaliung.
“Ini tahun kedua saya menempuh perjalanan panjang untuk menyaksikan pertunjukan di kebun. Kali ini saya lewat Malingping dengan total durasi 9 jam, perjalanan seru, mengasyikkan, dan tentunya lebih ramah lingkungan,” tutur Jeni.
Untuk memperluas akses terhadap karya ini, Ekosistem Boeatan Tjibalioeng juga merilis berbagai konten digital, seperti musik dan video musik, melalui kanal YouTube dan platform streaming digital.
Selain itu, tersedia pula video edukasi tentang proses pembuatan alat musik bambu, yang diharapkan dapat menjangkau lebih banyak orang serta meningkatkan apresiasi terhadap bambu sebagai bagian dari budaya dan ekosistem. (Ahmad)