PANDEGLANG, BINGAR.ID – Lembaga kebudayaan Ekosistem Boeatan Tjibalioeng, sukses mengadakan Lokakarya Musik dan Residensi Seniman Musik Bambu Nusantara yang berlangsung 20 Juni-6 Juli 2024 di Cibaliung, Kabupaten Pandeglang.
Lokakarya ini, merupakan rangkaian dari program besar Ekosistem Boeatan Tjibalioeng bertajuk “Jaga Jagat : Kembali pada Bambu”. Dengan memanfaatkan program Dana Indonesiana, dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Baca Juga : Grup Vokal Lensanona Persembahkan Karya Perdana, Tanpa Perwakilan
Program ini merupakan kampanye dan upaya Ekosistem Boeatan Tjibalioeng mengajak masyarakat kembali menyadari peran, fungsi, dan nilai bambu bagi kehidupan.
Ketua Ekosistem Boeatan Tjibalioeng, Rizal Mahfud menuturkan, dalam lokakarya ini, pihaknya menghadirkan tiga seniman bambu untuk mendampingi peserta dalam menghasilkan karya dari instrument musik bambu.
Ketiganya yakni Ronie Udara yang merupakan pemain perkusi dari grup musik asal Yogyakarta, Rubah di Selatan, Ilham Firmansyah, personel kelompok musik etnik Swarantara dari Bandung, dan Wildan Fisabililhaq dari Yumaga Music, yang juga pengajar di SMPN 3 Pandeglang.
Baca Juga : Boeatan Tjibalioeng Inisiasi Lokakarya Instrumen Musik Bambu
“Dalam lokakarya ini, para peserta akan menciptakan karya musik dengan mengeksplorasi suara-suara bambu dengan berbagai karakter yang khas,” katanya, Minggu (14/7/2024).
Dia menjelaskan, Lokakarya Musik dan Residensi Seniman Musik Bambu Nusantara melibatkan 15 peserta lintas generasi dari daerah Cibaliung untuk membuat karya musik bersama narasumber dan 5 seniman musik bambu residensi dari Papua, Lampung, Kalimantan, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Karya musik yang dihasilkan pun memadukan 12 instrumen dari Banten dengan 5 instrumen musik Nusantara, termasuk dengan instrumen bambu berdawai hasil inovasi.
Baca Juga : Petani Sekaligus Musisi, Boeatan Tjibalioeng Rilis Lagu Semangat Agraria
“Tapi, bukan cuma alat musik bambu khas Banten, mereka juga berkolaborasi dengan suara-suara bambu nusantara mulai dari Fuu dan Goto (Papua), Kadireq dan Kalangkupak (Kalimantan), Sulim Batak (Sumatera Utara), Cetik (Lampung), dan Sarunai, Saluang, dan Bansi (Sumatera Barat),” kata Rizal.
Rizal membeberkan alasannya mengekspolari alat musik bambu. Baginya, bambu bukan hanya sumber daya alam yang melimpah di nusantara, tetapi juga merupakan simbol keberlanjutan dan kearifan lokal.
“Setiap daerah punya cara unik dalam memanfaatkan bambu, baik sebagai kerajinan, arsitektur, dan bahkan alat musik. Lokakarya ini akan menunjukkan betapa kaya dan beragamnya warisan budaya kita, serta bagaimana musik bambu dapat menjadi jembatan penghubung antar komunitas dan generasi,” ujar dia.
Pemain seruling di grup musik Beranda Rumah ini menyebut, dari hasil lokakarya tersebut, menghasilkan lima karya lagu, Humanis; Lumbung; Sada Titilaring Bumi; Liliuran; dan Jaga Jagat. Kelima lagu ini nantinya akan direkam dan dipentaskan pada September mendatang.
“Hasil Lokakarya Musik dan Residensi Seniman Musik Bambu Nusantara ini akan dipersentasikan dalam bentuk pertunjukan musik bambu pada 18 September 2024 yang bertepatan dengan Hari Bambu Sedunia dan juga bulan dimana terdapat Hari Tani Nasional,” kata dia. (Ahmad)