BINGAR.ID – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memaparkan, gempa bumi yang terjadi secara beruntun pada Hari Selasa 7 Juli 2020, tidak memiliki kaitan dengan gempa yang terjadi sebelumnya.
Diketahui, sepanjang Selasa pagi hingga siang, sejumlah daerah diguncang gempa bumi dengan kekuatan bervariatif. Dimulai dari Gempa Laut Jawa di utara Jepara berkekuatan magnitudo 6.1 yang terjadi pagi pukul 05.54 WIB.
Disusul gempa Selatan Banten berkekuatan magnitudo 5.1 pukul 11.44 WIB, Gempa Selatan Garut magnitudo 5.0 pukul 12.17 WIB, dan satu jam kemudian terjadi gempa di Selatan Selat Sunda dengan kekuatan magnitudo 5.2 pada 13.16 WIB.
Baca juga: Rangkasbitung Diguncang Gempa 5.4 Magnitudo, Tidak Berpotensi Tsunami
Semuanya berada pada sumber gempa yang berbeda, kedalaman yang berbeda, dan juga berbeda mekanismenya.
“Sebenarnya apa yang terjadi di beberapa wilayah gempa tersebut adalah manifestasi pelepasan medan tegangan pada sumber gempa masing-masing. Masing-masing sumber gempa mengalami akumulasi medan tegangan sendiri-sendiri, mencapai stress maksimum sendiri-sendiri, hingga selanjutnya mengalami rilis energi sebagai gempa juga sendiri sendiri,” ujar Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono dalam rilis yang diterima Bingar.id, Selasa (7/7/2020).
“Ini konsekuensi logis daerah dengan sumber gempa sangat aktif dan kompleks. Kita memang memiliki banyak sumber gempa sehingga jika terjadi gempa di tempat yang relatif berdekatan lokasinya dan terjadi dalam waktunya yang relatif berdekatan maka itu hanya kebetulan saja,” sambungnya.
Dia menjelaskan, gempa yang terjadi di Banten Selatan dan Selatan Garut bersumber dari sumber gempa yang berbeda. Gempa Banten Selatan terjadi akibat adanya deformasi batuan pada slab Lempeng Indo-Australia di Zona Benioff di kedalaman 87 kilometer.
“Sementara Gempa Selatan Garut dan Selatan Selat Sunda dipicu oleh adanya deformasi batuan pada slab Lempeng Indo-Australia di Zona Megathrust,” bebernya.
Baca juga: BPBD Sebut Gempa di Rangkasbitung Tak Sebabkan Kerusakan
Guncangan gempa Lebak yang dirasakan hingga Jakarta karena adanya fenomena efek tapak (local site effect). Yang mana efek soft sedimen/tanah lunak yang tebal di Kota Jakarta memicu terjadinya resonansi gelombang gempa sehingga guncangan gempa diamplifikasi diperbesar guncangannya sengingga wilayah Jakarta sangat merasakan gempa tersebut.
“Dalam teori gempa disebutkan bahwa dampak gempa tidak saja akibat magnitudo gempa dan jaraknya dari sumber gempa, tetapi kondisi geologi setempat sangat menentukan dampak gempa,” jelas Rahmat.
Rahmat tidak bisa menyimpulkan jika rentetan gempa dibeberapa wilayah di Indonesia, sebagai pertanda akan terjadi gempa besar karena hal itu sulit diprediksi. Akan tetapi dengan adanya rentetan aktivitas gempa ini tentu, dia mengingatkan masyarakat untuk waspada.
Karena dalam ilmu gempa atau seismologi, khusunya pada teori tipe gempa itu ada tipe gempa besar yang kejadiannya diawali dengan gempa pendahuluan atau gempa pembuka. Setiap gempa besar hampir dipastikan didahului dengan rentetan aktivitas gempa pembuka.
“Tetapi rentetan gempa yang terjadi di suatu wilayah juga belum tentu berakhir dengan munculnya gempa besar. Inilah karakteristik ilmu gempa yang memiliki ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi yang penting juga untuk kita pahami,” tutupnya. (Ahmad/Red).