Di pusat Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah tepatnya di Sidayu berdiri sebuah benteng peninggalan Belanda bernama Benteng Van der Wijck.
Benteng ini dahulu adalah markas tentara Belanda untuk wilayah Banyumas. Tak hanya membangun benteng, pemerintah kolonial Belanda juga membangun stasiun yang cukup besar di dekat lokasi benteng tersebut yang kini dikenal sebagai stasiun Gombong.
Menurut saya, hal ini sedikit aneh lantaran Gombong bukanlah pusat Kabupaten Kebumen . Gombong hanya kota kecamatan kecil yang menjadi bagian dari Kabupaten Kebumen.
Lalu mengapa Belanda memembangun benteng sekaligus markasnya di Gombong? disarikan dari aneka dokumen sejarah, ternyata pembangunan benteng ini adalah salah satu taktik perang Belanda yang dikenal sebagai Benteng Steelsel.
Taktik ini dilakukan untuk mempersempit ruang gerak musuh dengan membangun benteng benteng di jantung pertahanan musuh. Taktik ini diperkenalkan oleh Kolonel Frans David Cochius, seorang perwira militer Belanda yang berhasil memadamkan pemberontakan kaum adat Padri bersama Tuanku Imam Bonjol, di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat.
Atas jasanya itu, Cochius dianugerahi kenaikan pangkat oleh Raja Wilem I menjadi jenderal dan diangkat sebagai Wakil Panglima Tertinggi Tentara Kerajaan Hindia – Belanda (KNIL).
Saat itu, ia adalah wakil dari Jenderal Hendrik Merkus De Kock yang saat itu sudah “bertahta” di Pulau Jawa sebagai panglima atau komandan KNIL.
Penunjukan Cochius menjadi wakil panglima bukan tanpa alasan, saat itu, pemerintah Kolonial Belanda tengah kebingungan dan hampir mengalami kebangkrutan karena perlawanan dari laskar Janisari yang dibentuk oleh Raden Mas Mustahar, alias Bendara Raden Mas Ontowiryo, alias Bendoro Pangeran Haryo Dipanegara, atau populer sebagai Pangeran Diponegoro.
Laskar ini adalah laskar elit bentukan sang pangeran yang “gerah” melihat kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda. Sistem keprajuritannya meniru laskar elit di Daulah Turki Utsmaniyah yang juga bernama Janisari.
Laskar perang ini yang menjadi motor penggerak Perang Jawa yang berkobar antara tahun 1825 sampai 1830. Perang ini menorehkan luka dalam bagi Belanda karena merugikan keuangan Belanda hingga 20 juta gulden atau setara dengan 161 milyar rupiah. Nilai yang fantastis di masa tersebut.
Sekedar informasi, Pangeran Dipanegara adalah cicit dari Sri Sultan Hamengkubuwono I atau dikenal sebagai Sultan Mangkubumi atau Sultan Suwargi. Pangeran Dipanegara adalah anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono III atau dikenal sebagai Sultan Raja.
Maka, taktik benteng steesel ini, dipercaya ampuh untuk memecah belah kekuatan laskar perang Pangeran Diponegoro di wilayah Banyumas yang digerakkan oleh adik kakak keluarga bangsawan kesultanan Yogjakarta yaitu Raden Basah Abdul Mahmud Gondokusumo, dan Raden Basah Abdul Kamil Mertonegoro.
Tak cuma para bangsawan, di Banyumas juga banyak kyai, serta ulama pendukung Diponegoro karena putra sultan itu menyatakan bahwa perang melawan Belanda adalah perang jihad fisabilillah atau perang sabil. Barangsiapa berkorban nyawa, maka surga adalah balasannya. Semangat jihad fisabillah yang makantar kantar inilah yang sangat ditakuti Belanda.
Ketakutan inilah yang menjadi alasan utama pembangunan benteng di Gombong pada tahun 1818 dan dinamai sebagai Fort Cochius atau Benteng Generaal Cochius sesuai nama Frans David Cochius yang mengusulkan taktik tersebut.
Namun, belakangan, benteng berbentuk segi delapan itu berubah nama menjadi benteng Van der Wijck untuk mengabadikan nama Carel van der Wijck yang menggantikan Jenderal David Cochius sebagai komandan KNIL. Nama itulah yang melekat hingga kini.
Jadi, bisa dikatakan, benteng dengan dinding setebal 1,4 meter ini adalah saksi bisu perjuangan rakyat Banyumas khususnya Gombong melawa kolonialisme Belanda. Sekaligus menggambarkan dengan tepat militansi laskar Janisari Pangeran Diponegoro di wilayah Banyumas dan sekitarnya yang semangatnya mampu melemahkan nyali prajurit Belanda.
Benteng Van der Wijck Kini
Tahun berganti, benteng Van der Wijck sempat menjadi markas Pasukan Pembela Tanah Air atau PETA yang merupakan pasukan bentukan Jepang. Namun kemudian dikosongkan setelah Jepang menyerah kalah pada perang dunia ke-2.
Di era kemerdekaan, dan pembentukan TNI, benteng ini berubah fungsi menjadi markas TNI yang berada di lingkup Kodam IV Diponegoro sehingga dikenal oleh masyarakat Gombong sebagai tangsi atau barak militer. Inilah yang membuat alamat benteng ini menjadi Jalan Sapta Marga No 100. Sapta Marga sendiri adalah sumpah prajurit TNI.
Kini, Benteng Van Der Wijck sudah malih rupa lagi menjadi objek wisata sejarah. Terkadang menjadi tempat pentas pertunjukan seni khas Jawa. Kamar kamar prajurit atau barak disulap menjadi kamar hotel sehingga wisatawan bisa menginap di seputaran benteng.
Benteng yang dibuat dengan batu bata merah ini di cat warna merah menyala agar terlihat lebih menarik. Saking menariknya, benteng tersebut jadi lokasi syuting film bergenre laga The Raid 2.
Untuk mengenang kecintaan dan ketaatan masyarakat Gombong dan Banyumas kepada Pangeran Diponegoro sekaligus sebagai tanda bahwa wilayah benteng itu dikelola oleh Kodam IV Diponegoro, di bagian depan benteng dibangun patung sang pangeran sedang menunggang kuda.(Ishana/Red)