“Angklung Buhun” Karya Cipta Budaya Adiluhung

Angklung Buhun (Istimewa)

BINGAR.ID – Ketika datang yang terkesan hanya sebuah ajakan dan tuntutan, setelah dikenal menjadi titian, melalui bahasa filosofi yang diungkapkan dalam irama waditra, terjemahan dalam tarian, disampaikan dalam tembang. Pesannya bercerita tentang karya cipta dan budidaya, dari sebuah kesibukan hari-hari sejak fajar sampai matahari terbenam.

Inilah yang sampai sekarang dikenal dengan sebuah tradisi, merupakan cermin kebiasaan keseharian, yang menggambarkan prilaku dan berkomunikasi, antara manusia dengan alam lingkungannya. Untuk saling memahami watak dan perangainya masing-masing, kemudian agar selalu di ingat, dikerjakan, sesuai tersirat dalam amanat para pendahulu (karuhun-red).

Tatar Banten semula dikenal sebagai daerah agraris, yang lebih di dominasi masyarakat pedalaman, lebih berperan sebagai petani penggarap ladang, untuk menghasilkan panen berlimpah. Namun tidak semudah membalikan telapak tangan, mereka bekerja keras, menaklukan ganasnya alam, tanpa mengenyampingkan nilai-nilai kearifan dan kesabaran.

Mengenal memahami, melalui isyarat serta tanda-tanda perjalanan waktu, sejak benih di semai sampai dituai, kemudian terbingkai dalam agenda untuk dikenang dan disyukuri.

Tradisi ini di Tatar Banten dikenal sebagai “Seren Taun” sebuah pagelaran kolosal tentang tradisi, kemudian menyatu dalam kehidupan hingga menjadi ciri, pada sebuah perwajahan sekelompok masyarakat pedalaman. Demikian inspirasi sebuah tradisi yang mampu mengilhami bahasa budaya, diungkapkan melalui kesenian “Angklung Buhun”, calung renteng, gendreh, rengkong.

Angklung Buhun (Istimewa)

Kesenian yang menceritakan perjalanan panjang Dewi Sri atau Nyi Pohaci, sangat akrab dengan kehidupan masyarakat petani, hadir setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur. Tanpa melupakan kilas balik atau napak tilas, untuk belajar dari kegagalan, melalui intropeksi, tanpa mengabaikan ajakan dan pantangan yang tersirat dari amanat.

Angklung Buhun didukung sembilan buah instrument angklung, masing-masing bernama Indung, Ringkung, Gimping, Dogdog, Engklok, Indung Leutik, Trolok dan sepasang Reol, diperkuat tiga buah instrument Dogdog, diantaranya Bedug, Talingting, dan Ketung. Irama lagunya Merenggo dengan alunan sentimentil, melalui tembang buhun Uwa, sarat mithos-mithos religius sesuai kepentingannya.

Angklung Buhun kesenian untuk meminta hujan, dikenal juga sebagai sarana menyambut datangnya musim penghujan, merupakan isyarat dimulainya menggarap ladang dikerjakan secara bertahap. Sejak mulai nyacar, ngabersihan, nyundut, tebar, ngored, dibuat (panen-red), yang tahapan terebut dikerjakan bersama-sama, tepat waktu jauhnya tanggal dan bulan.

Seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, kesenian tradisional Angklung Buhun mulai tergilas waktu, terjajah pengaruh, terkubur keangkuhan para budayawan, yang mulai meningkatkan jati dirinya. Sebuah peninggalan sejarah yang memiliki daya tarik megistik, terkesan realistik, diantaranya perladangan, saung huma, lumbung dan leusung, sudah tidak lagi menjadi titian sebagai cermin identitas. Meskipun ada, hanya bilangan kecil saja di pelosok pedalaman. (Aditya/Red).

Berita Terkait

Berita Terbaru