BINGAR.ID – Lembaga riset perpajakan DDTC mengungkap alasan kenaikan tariff cukai hasil tembakau (CHT) tidak efektif untuk menurunkan jumlah perokok aktif di Indonesia.
Koordinator Riset DDTC Fiscal Research Denny Vissaro menilai ketidaksesuaian antara harga produk tembakau yang beredar di pasaran (Harga Transaksi Pasar/HTP) dengan harga yang didaftarkan atau tertera pada pita cukai di kemasan (harga jual eceran/HJE) menjadi salah satu penyebabnya.
Menurut Denny, kerap kali, beberapa merek rokok dijual di bawah HJE lantaran dalam Pasal 22 Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif CHT disebutkan bahwa HTP bisa dijual di bawah 85 persen.
Padahal, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif CHT, HTP di tingkat konsumen minimal adalah 85 persen.
“Itu memungkinkan prevalensi merokok itu menjadi lebih sulit pengendaliannya karena di pasaran harganya bisa dijual di bawah HJE yang ditetapkan,” ujarnya dalam webminar yang digelar DDTC, seperti yang dikutip dari CNN Indonesia (22/7/2020).
Bahkan, kata Denny, harga murah tersebut baru dianggap melanggar jika penetapan HTP di bawah HJE dilakukan di luar 40 lokasi yang ditetapkan pemerintah dalam Perdirjen Bea Cukai 37/2017.
Di samping itu, kurang optimalnya pengendalian jumlah perokok juga disebabkan kompleksnya struktur tarif cukai yang diterapkan di Indonesia. Satunya banyaknya sistem multi-tier atau golongan untuk strata tarif CHT.
Jika dilihat, kata Denny, gap CHT antar golongan cenderung melebar dari tahun ke tahun. Ia menyebut misalnya jarak CHT jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan 1 dan dua kian melebar dari 2015-2020.
Pada 2015, gap tarif golongan 1 dan 2 SKM hanya sebesar 36 persen, tapi di tahun 2020 jarak tarifnya sudah sangat jauh yakni 57 persen.
Begitu pula untuk jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan 1 dan 2 yang gap tarifnya melebar dari 57 persen pada 2015 menjadi 63 persen.
Memang, tutur Denny, kebijakan ini adalah sesuatu yang baik di mana pemerintah ingin menciptakan atau memberlakukan tarif yang lebih rendah untuk pabrikan kecil. Sayangnya dengan struktur seperti sekarang ini, terbuka celah bagi pabrikan besar untuk menghindar dari tarif tinggi atau golongan 1.
“Pabrikan rokok besar bisa menahan produksinya atau bahkan menggunakan pabrikan lain untuk bisa menciptakan atau mendiversifikasi produksinya sehingga jenis tembakau yang diproduksi tidak melewati batasan golongan dua,” ucapnya.
Besarnya perbedaan tarif antara golongan 1 dan 2 juga menyebabkan konsumen atau perokok enggan mengurangi konsumsi ketika tarif CHT dinaikkan pemerintah. Mereka hanya berpindah dari satu merek atau jenis rokok ke merek atau jenis lainnya yang diproduksi lebih banyak oleh pabrikan bisa rokok besar.
“Ini juga menyebabkan konsumen ketika cukai naik bukan mengurangi konsumsinya atau berhenti merokok tapi shifting (beralih ke) merokok golongan 2,” tandas Denny. (Ahmad/Red)