“Telusuri Jalan Ditemani Gerobak Reyot, Demi Kumpulkan Limbah Plastik Bekas yang Berharga”
PANDEGLANG, BINGAR.ID – Panasnya terik matahari dan jalanan yang disusurinya setiap hari, sudah menjadi sahabat dan menyatu bagi kehidupannya. Bahkan, lelah bermandikan keringat-pun, bukanlah penghalang bagi lelaki renta berusia 62 tahun ini. Semua itu ia lakukan, hanya demi menyambung hidup sebagai tulang punggung keluarganya.
Dialah Emis, sang kakek yang tinggal di sebuah rumah semi permanen, di Kampung Pamatang Jati, Desa Mekarsari, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang. Hari-harinya ia habiskan dengan memulung limbah plastik bekas air mineral, kardus, maupun barang-barang rongsok lainnya, yang tercecer di pinggir jalan maupun di tempat sampah.
Gerobak reyot kesayangannya, yang ditarik dan didorongnya sudah menemaninya selama 7 tahun lebih. Karena, gerobak itulah satu-satunya alat angkut barang berharganya (limbah plastik).
“Saya sempat kerja di Jakarta. Tapi karena sekarng umur sudah tua, akhirnya berhenti. Akhirnya saya putuskan jadi pemulung, untuk membiayai dan memenuhi kebutuhan keluarga (istri dan anak saya yang masih SD,red),” kata Emis, sambil menghela nafas panjangnya, sambil sesekali menyeka keringatnya di sela kerut dahinya, Kamis (11/6/2020).
Lelaki kelahiran 1958 silam ini-pun, terus menceritakan kisah hidupnya dan keluarganya. Yang menurutnya, cukup dan harus di syukuri meskipun penuh dengan keprihatinan. Karena dari 5 orang anak nya, saat ini Emis beserta istri hanya tinggal memikirkan si kecil yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Kulitnya yang keriput, sorot matanya yang seakan kosong, menjadi salah satu bukti usianya tak muda lagi. Namun, dimasa tuanya ia yang berpenghasilan tak menentu. Terpancar keikhlasan dalam dirinya, serta menyadari bahwa cara hidupnya itu harus terus diperjuangkan. Karena waktu tidak mungkin dapat ia hentikan.
Sehingga, hanya dengan bersyukur dan menerima apa yang digariskan-NYA, itu dianggap sudah cukup baginya.
“Alhamdulillah, yang penting uang yang saya dapat, halal. Walau tak seberapa, kalau gerobak ini terisi penuh, saya bisa dapat uang Rp 40-50 ribu. InsyaAllah, cukup untuk makan anak dan istri di rumah. Terkadang emang gerobak ini tak terisi penuh, ya mau gimana lagi, saya hanya bisa bersyukur,” ujarnya.
Topi rimba lusuh-pun menjadi penutup kepala, untuk menahan panasnya terik matahari. Ia mengaku, sudah beberapa bulan ini barang-barang hasil mulungnya mulai sulit di jual. Karena beberapa pengepul barang bekas biasa Emis melempar hasil mulungnya itu, sudah banyak yang tidak mau menerima. Sehingga terpaksa, barang-barang itu dibawanya pulang.
“Beberapa juragan pengepul mengaku lagi pailit, akibat Corona. Jadi kalau enggak laku, ya saya bawa pulang. Untuk makan sehari-hari, sementara ini dari istri yang kerja sebagai pengumpul ikan di pelelangan,” kembali dikisahkannya.
Lagi – lagi tak banyak mimpi dan harapan dari seorang Emis, selain hanya ingin dapat menyambung hidup keluarganya dengan penghasilan yang halal dari memulung. Juga ia berpikir, bagaimana anaknya yang duduk di bangku SD dapat lulus dan tak mengalami kepahitan hidup sepertinya.
Memang tak sedikit, kisah semacam ini dapat kita temui di masyarakat. Namun ada akhirnya, siapa yang mampu bersyukur kepada sang pencipta, maka akan selalu ada jalan untuk memperjuangkan semua harapan dan cita – citanya. Karena, dari kisah seperti Kakek Emis-lah, kita diajarkan untuk selalu bersyukur. (*)