BINGAR.ID – Hari ini, tepat 55 tahun lalu Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sebagai tonggak sejarah melahirkan Orde Baru terukir. Meski sudah melebihi setengah abad, namun misteri dan kontroversi naskah asli Supersemar belum terpecahkan.
Lalu bagaimana latar belakang Supersemar dapat terjadi? Supersemar merupakan penyerahan mandat kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto pada 11 Maret 1966, yang dilatarbelakangi gejolak paska peristiwa G30S/PKI pada 1 Oktober 1965.
MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007) menulis, demokrasi terpimpin Soekarno mulai runtuh pada Oktober 1965.
Baca juga: Sejarah 11 September Sebagai Peringatan Hari Radio Nasional
Tentara menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik pembunuhan tujuh jenderal, yang memicu amarah para pemuda antikomunis.
Sikap Soeharto yang dinilai tidak berbuat sesuatu, dan situasi perekonomian yang cenderung buruk, lantas para mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan kesatuan-kesatuan aksi lainnya (KABI, KASI, KAWI, KAGI), yang tergabung dalam Front Pancasila.
Memasuki 1966, inflasi mencapai 600 persen lebih. Soekarno hanya mengabaikan suara rakyat. Aksi unjuk rasa pun semakin kencang.
Dibentuk Oktober 1965, berselang dua bulan Front Pancasila berunjuk rasa di halaman gedung DPR-GR menuntut tiga hal yang dikenal dengan Tritura, yakni Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S, dan penurunan harga.
Baca juga: Sejarah 6 Maret, Awal Terbentuknya Pasukan Kostrad
Puncak unjuk rasa terjadi pada 11 Maret 1966. Mahasiswa secara besar-besaran demonstrasi di depan Istana Negara.
Letnan Jenderal Soeharto yang menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat meminta Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.
Permintaan itu dititipkan Soeharto kepada tiga jenderal AD yang datang menemui Soekarno di Istana Bogor pada 11 Maret 1966 sore.
Ketiga jenderal itu adalah Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi).
Permintaan Soeharto dianggap biasa oleh Soekarno. Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan. (Ahmad/Red)